Please Bantu Saya, Like This !!!

×

Powered By Blogger Widget and Get This Widget

Sunday, 27 April 2014

Sejarah Garam Indonesia

2.1 Pengertian garam Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar natrium klorida (>80%) serta senyawa lainnya seperti magnesium klorida, magnesium sulfat, kalsium klorida, dan lain-lain. Garam mempunyai sifat / karakteristik higroskopis yang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 - 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 8010C. Garam natrium klorida untuk keperluan masak dan biasanya diperkaya dengan unsur iodin (dengan menambahkan 5 g NaI per kg NaCl) yang merupakan padatan kristal berwarna putih, berasa asin, tidak higroskopis dan apabila mengandung MgCl2 menjadi berasa agak pahit dan higroskopis. Digunakan terutama sebagai bumbu penting untuk makanan, sebagai bumbu penting untuk makanan, bahan baku pembuatan logam Na dan NaOH ( bahan untuk pembuatan keramik, kaca, dan pupuk ), sebagai zat pengawet Sejarah Garam di Indonesia Berawal dari pertanian di ladang-ladang garam secara tradi¬sional, Industri Garam Indonesia terus berkembang, hingga saat ini menjadi salah satu bidang industri yang memberi penghidupan bagi banyak masyarakat di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingkat kebutuhan dan rangkaian kegiatan yang menyertai keberadaan garam. Dari material awal, yaitu garam kasar (krosok), industri garam di Indonesia memproduksi berbagai jenis garam untuk memenuhi berbagai keperluan akan garam. Baik untuk kebutuhan rumah tangga, maupun kebutuhan industri, peternakan, dan pertanian. Namun demikian, industri garam di Indonesia bukan berarti berjalan mulus tanpa hambatan dan kendala. Kualitas garam yang belum maksimal, ketidakstabilan harga garam, proses produksi yang masih bersifat tradisional, dan persaingan dengan komoditi garam dari luar negeri merupakan sedikit dari sekian banyak masalah garam di Indonesia. Hal inilah yang harus terus dibenahi dan disempurnakan hingga Industri Garam Indonesia mampu menjadi pilihan utama bagi seluruh lapisan masyarakat. Garam yang didalamnya terkandung senyawa Kalium Lodat (garam beryodium) merupakan salah satu nutrisi penting yang harus dikonsumsi secara teratur oleh manusia. Jumlah garam yang harus dikonsumsi per hari untuk setiap orang kurang lebih adalah 9 gram. Untuk masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia, selain untuk memenuhi nutrisi tubuh, konsumsi garam ditujukan juga untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan yodium. Garam beryodium adalah garam konsumsi yang mengandung komponen utama Natrium Chlorida (NaCl) minimal 94,7%, air maksimal 5% dan Kalium Iodat (KIO3) sebanyak 30-80 ppm (mg/kg) serta senyawa-senyawa lain. Penyebar¬an garam beryodium pada masyarakat saat ini merupakan upaya pemerintah yang paling efektif dalam rangka penanggulangan masalah GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium). Garam merupakan salah satu bumbu masak yang hampir setiap makanan atau masakan membutuhkannya, sehingga dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Garam juga mudah untuk diperdagangkan oleh setiap pedagang atau pengecer dengan harga yang sangat terjangkau oleh masyarakat luas, baik oleh pedagang besar atau pedagang kecil. Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden RI No. 69 Tahun 1994 tanggal 13 Oktober 1994 tentang Pengadaan garam beryodium, maka telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 77/M/SK/5/1995 tanggal 4 Mei 1995 tentang Persyaratan teknis pengolahan, pengawasan dan pelabelan garam beryodium, maka perlu dilakukan penjabaran lebih lanjut mencakup prinsip dasar proses produksi dan pengendalian mutu pengolahan garam serta tata cara perizinan. Sehingga dipandang perlu adanya petunjuk teknis sebagai pedoman dalam rangka pengadaan garam beryodium yang memenuhi syarat, yaitu antara lain : Pertama, proses produksi untuk memberikan gambaran tentang pembuatan garam beryodium dengan menitikberatkan pada pencucian, pengeringan/penirisan, yodisasi dan pengemasan. Kedua, sistem pengendalian mutu untuk memproduksi garam beryodium sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Ketiga, perizinan untuk menginformasikan kepada perusahaan garam beryodium maupun calon investor tentang cara memperoleh perizinan usaha industri. Industri garam nasional yang sebenarnya berasal dari garam rakyat tradisional (mutu rendah) yang kemudian diproses lebih lanjut menjadi garam briket (untuk bahan pengawet dan keperluan industri), garam halus (garam meja) dan sangat halus (bahan baku hujan buatan) serta makin bersih dan baik kualitasnya (tinggi NaCl-nya dan rendah kadar airnya) tersebut; dihasilkan terutama di sentra-sentra garam yang terletak di bagian Barat : Cirebon, Tengah : Pati, Rembang, Gresik dan Pulau Madura, dan Timur : NTB (Bima), NTT dan Sulawesi Selatan (Jeneponto), yang pada saat ini hanya menghasilkan produksi rata-rata 1 juta ton / tahun. Produksi garam rakyat ini hanya dapat diharapkan selama musim kering saja, yang berjalan secara efektif selama kurang-lebih 3-4 bulan saja selain 1,5 bulan sebelumnya untuk masa persiapan produksi; untuk keperluan sisa waktu dalam satu tahun, diperlukan adanya stok garam yang cukup banyak. Upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah garam rakyat yang diproduksi juga mengalami banyak kendala, antara lain : (1) makin buruknya mutu air laut sebagai bahan baku pembuatan garam, (2) makin sempit dan kecilnya petak-petak ladang garam karena kepemilikan per orang/penguasaan lahan yang terbatas, (3) bersaing dengan penggunaan lahan yang lebih produktif, (4) lamanya musim hujan dan tingginya curah hujan pada waktu tertentu, (5) makin tingginya biaya produksi di saat harga garam rakyat jatuh, dan lain-lain. Ironi Garam di Negeri Bahari Apa Masalahnya? Pada awal tahun 2012 yang lalu, di negeri kita - negeri bahari - sempat terjadi kegaduhan masalah garam. Terjadi 'krisis' garam, karena produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kuota kebutuhan nasional. Pemerintah terpaksa mengimpor garam sebesar 3 juta ton dari Australia, India dan China, meskipun selama ini secara rutin kita telah mengimpor garam sebesar 2,2 juta ton pertahun. Ini merupakan ironi bagi sebuah negeri bahari dengan garis pantai terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada, padahal sebagian penduduknya memiliki kultur budidaya garam yang kuat. Garam yang umum kita kenal sebagai bahan pemberi rasa (flavor) pada makanan adalah senyawa kimia berupa Natrium Klorida (NaCl). Di Indonesia garam sebagian besar diperoleh dari air laut yang diuapkan, namun demikian persoalan garam merupakan persoalan nasional yang sampai kini tidak kunjung selesai permasalahannya. Disatu sisi kualitas garam nasional kurang memenuhi syarat sebagai garam industri karena kandungan NaCl-nya kurang 94,7%, disisi lain masih rendahnya kualitas kebersihan garam untuk dikonsumsi sebagai makanan. Hal itulah yang merupakan faktor mengapa garam nasional kurang menarik jika dibandingkan dengan garam impor, utamanya garam yang berasal dari Australia yang mempunyai kualitas jauh lebih baik. Di Indonesia kebutuhan garam secara nasional per tahun diperkirakan sebanyak 3.200.000 ton dengan rincian 1.400.000 ton untuk kebutuhan konsumsi dan 1.800.000 ton untuk kebutuhan industri kimia dan industri pangan. Sedangkan kemampuan produksi nasional hanya mencapai ± 1.000.000 ton pertahunnya dengan rincian produksi garam rakyat sebanyak 700.000 ton dan PT. Garam sebanyak 300.000 ton. Lahan garam rakyat seluruhnya tersebar dan terkonsentrasi di 6 propinsi yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan lahan PT. Garam berada didaerah Madura Jawa Timur. Sebenarnya apa yang menjadi masalah sehingga industri garam dan usaha garam rakyat berada dalam gelombang ketidakmampuan produksi ? Berdasarkan kajian IPB (2006), sekalipun merupakan negara bahari yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, Indonesia akan sulit swasembada garam. Alasannya, tidak ada hamparan lahan luas di kawasan pesisir pantai untuk dijadikan ladang garam berskala besar. Penyebab lain, musim kemarau pada sebagian wilayah Indonesia sangat pendek, yakni empat sampai enam bulan. Saat ini, Indonesia hanya memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi satu juta ton. Sementara kebutuhan nasional mulai tahun 2010 mencapai 3,2 juta ton, dengan total pertumbuhan kebutuhan 8,4 persen. Itu berarti, untuk dapat berswasembada garam, Indonesia membutuhkan lahan minimal 75.000 hektar karena kemampuan produksi hanya 40 ton sampai dengan 60 ton per hektar per tahun. Alasan lain, minat investor untuk menanamkan modal dalam usaha produksi garam sangat rendah. Bahkan, saat ini hanya ada satu perusahaan di bidang ini, yakni PT Garam dengan areal seluas 5.116 hektar. Selebihnya dikelola petani secara tradisional pada lahan 25.542 hektar. Harga yang diberlakukan pun sangat rendah, yakni Rp 300-Rp 550 per kilogram. Akibatnya, setiap tahun hampir tak ada penambahan lahan garam baru. Malahan, yang terjadi adalah penyusutan lahan karena dialihfungsikan untuk usaha lain. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007, hingga saat ini hanya ada satu perusahaan yang mau berinvestasi di usaha pergaraman. Diketahui bahwa salah satu penyebabnya adalah karena bidang usaha ini tidak dapat dilakukan dalam skala besar, sebab belum ditemukan hamparan kawasan pesisir seluas minimal 10.000 hektar. Investasi bidang usaha ini juga membutuhkan investasi yang tinggi dengan risiko yang cukup besar. Akibatnya, pedagang cenderung memilih menjadi importir garam, sebab tak membutuhkan biaya investasi mahal. Apalagi, tak pernah diberlakukan bea masuk (BM) impor garam sehingga harga gula impor jauh lebih murah dibanding garam lokal. Sehingga saat ini pemerintah sedang mencari lahan kawasan pesisir di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Selatan. Di dua provinsi ini masih terdapat lahan yang cukup luas dengan musim kemarau yang panjang. Peluang akan ditawarkan kepada sejumlah investor untuk membuka usaha garam dengan melibatkan rakyat setempat. Jika diminati dan mulai ada investasi, maka pemerintah akan memberikan sejumlah stimulus. Pemberdayaan Industri Garam Pada saat ini, Australia, Mexico atau China dianggap sebagai negara produsen garam yang besar di dunia. Ladang garam Australia yang dikelola secara besar-besaran dapat menghasilkan sekitar 70 cm endapan garam dan hanya 50 cm bagian atas yang diambil, sehingga mutunya baik. Produksi ladang garam di Australia untuk lahan pantai seluas 10.000 Ha, mendapat sinar matahari yang lebih panjang/panas, dapat menghasilkan 1 juta ton / tahun. Namun sistem industri garam di China (dengan 4 musim dan dikelola dalam skala yang lebih kecil) mungkin lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Penggunaan peralatan yang lebih modern akan sa¬ngat membantu proses produksi garam, utamanya pada saat menghadapi panen raya dimana produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan tenaga kerja. Dengan penggunaan peralatan yang lebih mudah tersebut akan mampu menigkatkan produktifitas areal pegaraman. Pandangan masyarakat yang ada saat ini menunjukkan bahwa produksi garam dianggap sebagai industri yang kurang menguntungkan karena tidak memerlukan tingkat keahlian apapun. Pandangan ini tumbuh dari kenyataan yang ada terutama apabila dihubungkan dengan pengolahan air laut menjadi garam oleh petani garam tradisional konvensional yang kurang memanfaatkan kaidah-kaidah ilmiah. Kebiasaan yang didasarkan pada keadaan alamiah dan terasa santai akan menghasilkan produk yang tidak bermutu dan tidak seimbang dengan perolehan hasil yang didapat. Hal ini merupakan tantangan bagi kita semua bagaimana meng-ubah kebiasaan masyarakat tani kita dari pengendalian yang bersifat alamiah dengan menjadi pengendalian yang mene¬rapkan kaidah-kaidah ilmiah dalam memproduksi garamnya. Beberapa upaya telah dilakukan Pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada petani tentang cara produksi garam yang baik yaitu dengan mengadakan proyek demplot lahan percontohan penggaraman kepada beberapa kelompok tani disamping upaya bantuan teknis pelatihan yang dapat diterapkan. Saat ini demplot tersebut telah direplikasikan ke 17 Kabupaten di Indonesia. Semua gagasan penerapan memerlukan peningkatan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan dari para pe¬ngelola. Usaha peningkatan ini dapat diawali dengan pengetahuan dasar dan penerapan cara yang murah, mudah dan tepat. Usaha penerapan ini akan dapat mengubah pendapat yang ada yang menganggap industri garam atau pengolahan air laut merupakan usaha yang tidak memberikan keuntung¬an dan tidak memerlukan pengetahuan serta keahlian. Kebijakan Pemerintah Beberapa hal yang menjadi penghambat upaya pemberdayaan komunitas petambak garam secara internal seperti rendahnya tingkat pendidikan, kepemilikan modal usaha, dan aset produksi yang sangat terbatas. Petambak garam yang pendidikannya rendah akan mengolah garam secara tradisional, tidak akan menggunakan teknologi dan mesin baru karena keterbatasan permodalan. Akibatnya produktivitas rendah dan tingkat pendapatan rendah. Dalam rangka mendukung percepatan penanggulang¬an kemiskinan yang menjadi program prioritas Pemerintah, maka sejak tahun 2009 KKP melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) melaksanakan program penanggulangan kemiskinan utamanya bagi masyarakat kelautan dan perikanan. Pada tahun 2011 pelaksanaan PNPM Mandiri KP terdiri dari Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) dan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). KKP melaksanakan program PUGAR sebagai salah satu strategi untuk pemenuh¬an kebutuhan garam nasional sehingga dapat mengurangi jumlah impor garam. PUGAR adalah program pemberdayaan yang difokuskan pada peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan, bagi petambak garam melalui prinsip bottom-up, artinya petambak garam akan terlibat dalam perencana¬an program, pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan. Adapun tujuan PUGAR adalah: (1) Membentuk sentra-sentra usaha garam rakyat di lokasi sasaran; (2) Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan petambak garam rakyat dalam kelompok usaha garam rakyat; dan (3) Meningkatkan akses terhadap permodalan, pemasaran, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bagi petambak garam rakyat. Seluruh tahapan pelaksanaan PUGAR berbasis pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan dan mening¬katkan kapasitas masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat. Peningkatan kapasitas petambak garam difokuskan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan dalam rangka meningkatkan produksi yang meliputi keterampilan, keahlian, dan pengetahuan. Kita berharap program tersebut berjalan lancar, dan dapat memacuproduktivitasgaram nasional sesuai harapan negeri bahari . ** (Tim Redaksi Jalasena/dmw) Berita Terkait • Importasi bahan baku makanan tetap tinggi • Harga garam rakyat belum beranjak naik • Indonesia bisa surplus 1,6 juta ton garam di 2013 • PT Garam alokasikan Rp 110 miliar untuk beli lahan • PTPN X bangun pabrik gula di Madura pada 2014 Garam termasuk produk yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Walaupun lebih dikenal sebagai penyedap makanan, namun sejatinya manfaat garam sangat luas. Garam telah menjadi bahan pengawet alami sejak berabad-abad silam. Selain juga digunakan di berbagai industri, seperti untuk cairan infus, campuran dalam sabun hingga sampo. Walaupun keberadaannya sangat penting, bisnis dan budidaya garam kurang populer di masyarakat. Hanya masyarakat daerah tertentu, seperti Madura dan Sidoarjo yang akrab dengan budidaya garam. Maklum, banyak yang menganggap bisnis ini kurang menggiurkan, lantaran rumit dan harganya terbilang rendah. Sebenarnya, kebutuhan garam di dalam negeri cukup besar. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) tahun 2012 menyebutkan, kebutuhan garam di dalam negeri sebanyak 1,44 juta ton. Adapun total produksi garam nasional 2,97 juta ton. Meski surplus, Indonesia masih mengimpor garam, lantaran produksi lokal tidak terserap sempurna. Cuaca menyebabkan panen garam petani tidak menentu. Selain itu, hasil panen petambak tradisional dinilai tidak memenuhi syarat untuk masuk ke pabrik besar. Makanya, pemain di bisnis budidaya garam harus pandai-pandai memanfaatkan peluang. Kualitas garam yang dihasilkan harus diupayakan bisa menembus skala industri. Salah seorang pebudidaya garam adalah Lia Elings. Melalui PD Danam Garam, ia sudah menggeluti usaha ini sejak 2004 silam. Lia membudidayakan dua macam garam, yakni garam putih dan kuning. “Garam putih untuk makanan, sedangkan garam kuning untuk industri,” tuturnya. Harga jual garam putih Rp 500 per kg, dan garam kuning sekitar Rp 600 per kg. Tambak garam milik Lia berlokasi di Serang, Indramayu, dan Cirebon. Garam hasil produksi tambaknya dipasok ke pabrik tekstil dan industri pakan ternak di Tangerang, Jawa Tengah dan Jabodetabek. Sekali panen, Lia bisa menghasilkan 30-60 ton garam. "Panen bisa dua bulan sekali atau lebih, tergantung cuaca," ujarnya. Menurutnya, budidaya kristal putih ini tidak terlalu rumit, namun butuh kesungguhan dan ketelitian. Dari bisnis garam ini, ia bisa meraup omzet minimal Rp 18 juta sebulan. Pebisnis garam lainnya yaitu Gazali di Madura. Tiap bulan, ia bisa mengantongi omzet Rp 20 juta sebulan dari menjual sekitar 25 ton garam. Ia memang tidak terjun langsung membudidayakan garam. Namun, ia melibatkan mitra petani garam di di tiga lokasi, yaitu Madura, Pasuruan dan Sidoarjo. Kualitas garam yang dijual Gazali pun terbilang bagus. Buktinya, ia bisa memasok garam untuk kebutuhan pabrik makanan dan pengawetan ikan di Kalimantan dan Sulawesi. (Bersambung) TEKNIK PEMBUATAN GARAM A. TEKNIK TRADISIONAL Pembuatan garam rakyat di Indonesia yang ada saat ini rata-rata masih menggunakan teknik yang masih tradisional dimana hasil produksi baik secara kualitas maupun kuantitas masih rendah. Kondisi ini terjadi karena penerapan proses produksi pada teknik tradisional masih sederhana teknologinya. Alur proses produksi yang biasa diterapkan para petani garam di Indonesia yaitu air laut (3 Be) dimasukkan dalam petak penampungan air laut (tandon) kemudian air tersebut dialirkan pada beberapa petak peminihan dengan tujuan untuk menguapkan air laut sehingga kandungan garam didalamnya akan semakin pekat (16 Be) seiring perjalanan air laut tersebut dari petak peminihan yang satu ke petak peminihan yang terakhir (penampungan air tua). Dari petak pemihan ini selanjutnya air yang konsentrasi kandungan garamnya makin tinggi ini langsung di alirkan ke meja garam untuk di kristalkan. Tahapan-tahapan pada teknik tradisional ini memerlukan waktu yang cukup lama (> 10 hari) untuk menghasilkan garam yang kualitasnya juga masih rendah. Rendahnya kualitas garam tersebut bisa disebabkan oleh kandungan NaCl yang kurang karena proses produksi yang masih sangat sederhana dan cara panen yang seringkali mengakibatkan lumpur dasar petakan masih melekat pada garam. Untuk menanggulangi hal tersebut maka dapat dilakukan penambahan bahan aditif sehingga akan menghasilkan garam yang bersih karena bahan-bahan pengotor (impurities) tidak lagi menempel pada garam karena diikat oleh bahan aditif tersebut. Apabila dalam pola tradisional akan dilakukan penambahan zat aditif maka perlakuan tersebut sama sekali tidak merubah atau memodifikasi lahan yang ada. Penambahan zat aditif dapat di lakukan pada tahap bak penampungan air tua atau langsung ditaburkan pada tahap kristalisasi di meja garam. Pemberian zat aditif ini selain dapat membuat garam yang diproduksi semakin bersih, juga akan menghasilkan garam dengan kandungan NaCl yang tinggi pula. Gambar 1. Proses Tradisional B. TEKNIK SEMI INTENSIF Pada proses pembuatan garam menggunakan teknik semi intensif membutuhkan modifikasi lahan tambak dengan penambahan ulir pada tahap peminihan dengan tujuan untuk mempercepat proses penuaan air. Penambahan ulir disini dimaksudkan untuk mempercepat penguapan pada air laut sehingga saat tiba di petak penampungan sudah mencapai 20 Be dalam waktu yang lebih singkat apabila kondisi cuaca dan iklim memungkinkan. Pada teknik semi intensif ini, ulir dibuat berbentuk petakan – petakan kolam tanah yang berkelok – kelok dengan dasar yang tidak rata untuk membuat arus air secara alami sehingga terjadi proses penguapan yang di bantu cahaya matahari dan angin. Dengan adanya ulir ini diharapkan dapat mempercepat waktu penuaan air laut sehingga proses produksi dapat lebih singkat. Ketinggian air pada ulir berkisar antara 10 – 20 cm. Perbandingan luas lahan peminihan dengan lahan kristalisasi adalah 65 : 35. Meja kristalisasi dapat dilapisi terpal plastik sehingga bebas bocor, mudah dirawat dan dapat segera digunakan bila musim garam tiba. Apabila akan menggunakan zat aditif maka ditaburkan pada tahap kristalisasi di meja garam. Dengan menggunakan teknik semi intensif dengan penambahan bahan aditif, akan menghasilkan garam yang dengan kualitas tinggi, produksinya semakin meningkat serta waktu produksi semakin singkat. Berdasarkan hasil yang telah diterapkan dilapangan, dalam kondisi normal penggunaan zat aditif ini dapat meningkatkan produksi garam sekitar 30 % dari hasil produksi dengan yang konvensional. PEMBAHASAN Gambar 2. Proses Semi Intensif C. TEKNIK BACK YARD Pembuatan garam secara sederhana tanpa memerlukan lahan tambak yang sangat luas tetapi memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan produksi garam. Bahan baku air tua ini dapat di datangkan dari tambak-tambak garam yang sengaja membuat air tua untuk didistribusikan pada usaha pembuatan garam menggunakan backyard. Jadi dengan teknik ini terdapat beberapa elemen usaha yang saling mendukung, saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Bahan baku dapat berupa air tua dengan kadar kepekatan minimum 20 Be sehingga langsung mengalami tahap kristalisasi. Untuk membuat air tua tersebut menjadi Kristal-kristal garam maka dapat di buat meja kristalisasi menggunakan terpal plastic sehingga bebas bocor, mudah dirawat dan dapat dipindahkan. Luas meja kristalisasi minimal 2,4 m x 1,2 m x 0,04 m. Proses kristalisasi air tua dilakukan dengan penyinaran matahari. Diusahakan letak meja kristalisasi ini mendapatkan sinar matahari penuh dari pagi sampai sore atau tidak tertutup oleh pepohongan atau bangunan. Apabila akan menggunakan zat untuk mempercepat proses kristalisasi maka dapat memakai zat aditif yang ditaburkan langsung di meja kristalisasi. Gambar 3. Proses Back Yard

0 komentar: