A. Pengertian
Almond
dan Verba (1990) mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi
yang khas dari warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya,
dan sikap terhadap peranan warga Negara di dalam system itu. Batasan ini
memperlihatkan pada kita adanya unsure individu, yakni warga Negara dan system
politik serta keterkaitannya. Dalam hal ini budaya politik terlihat dari
bagaimana sikap individu terhadap system politik dan bagaimana pula sikapnya
terhadap individu dalam system politik
Sedangkan
menurut Austin Ranney, budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan
tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola
orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
Seperti
dikatakan oleh Almond bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam
suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena
budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya
konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan
kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen
berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi
beberapa unsur.
Menurut
Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi
kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif
mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi
tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek
politik sebagai berikut:
1. Orientasi kognitif yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
2. Orientasi afektif yaitu perasaan terhadap sistem politik,
peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
3. Orientasi evaluative yaitu keputusan dan pendapat tentang
obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria
dengan informasi dan perasaan.
Di
dalam realitas kehidupan ketiga komponen ini tidak terpisah-pisah secara tegas.
Adanya perbedaan tingkat pemahaman tentang perkembangan masyarakay pada setiap
individu menyebabkan ketiga komponen tersebut saling terkait atau
sekurang-kurangnya saling terkait. Untuk dapat membentuk suatu penilaian
terhadap seorang pemimpin, seorang warga Negara harus mempunyai pengetahuan
yang memadai tentang si pemimpin. Dan pengetahuan itu sudah dipengaruhi oleh
perasaannya sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan berpengaruh
pada system politik secara keseluruhan.
Budaya
politik suatu masyarakat berkembang dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada
dalam masyarakat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa kehidupan bermasyarakat
dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar nilai.interaksi yang demikian
memungkinkan timbulnya kontak-kontak di antara budaya politik bangsa. Proses
ini kita kenal dengan sosialisasi politik yaitu suatu proses dimana anggota
masyarakat mengalami, menyerap,dan menghayati nilai-nilai politik yang ada
disekitarnya. Jadi antara budaya politik dan sosialisasi politik bersifat
saling mempengaruhi. Pertumbuhan dan perkembangan politik merupakan output
sosialisasi politik dan dapat pula berfungsi sebagai input proses sosialisasi
politik
Sosialisasi
politik didefinisikan oleh Ramlan Surbakti sebagai proses pembentukan sikap dan orientasi
politik anggota masyarakat. Melalui sosialisasi politik inilah para nggota
masyarakat memperoleh sikap dan orientasi kehidupan politik yang berlangsung
dalam masyarakat.Nilai-nilai politik yang disosialisasikan adalah yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan metode penyampaiannyadapat dilakukan
dengan pendidikan politik dan indoktrinasi politik.
B. Tipe-Tipe Budaya Politik
1.
Budaya politik parokial (parochial
political culture)
Budaya parokial yaitu budaya politik yang terbatas pada
wilayah tertentu bahkan masyarakat belum memiliki kesadaran berpolitik,
sekalipun ada menyerahkannya kepada pemimpin lokal seperti suku.
Pada budaya politik parokial umumnya tingkat partisipasi dan
kesadaran politik masyrakatnya masih sangat rendah. Hal tersebut disebabkan
oleh poleh faktor kognitif, yaitu rendahnya tingkat pendidikan/pengetahuan
seseorang sehingga pemahaman dan kesadaran mereka terhadap politik masih sangat
kecil. Pada budaya politik ini, kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada
sama sekali terhadap sistem politik. Kelompok ini akan ditemukan di berbagai
lapisan masyarakat.
Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem
politik tradisional dan sederhana, dengan ciri khas spesialisasi masih sangat
kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belumlah memiliki tugas. Tetapi peranan
yang satu dilakukan secara bersamaan dengan peranan lain aktivitas dan peranan
pelaku politik dilakukan bersamaan dengan perannya baik dalam bidang ekonomi,
sosial, maupun keagamaan.
Disebabkan sistem politik yang relatif sederhana dan
terbatasnya areal wilayah dan diferensiasinya, tidak terdapat peranan politik
yang bersifat khas dan berdiri sendiri-sendiri. Masyarakat secara umum tidak
menaruh minat begitu besar terhadap objek politik yang lebih luas tetapi hanya
dalam batas tertentu, yakni keterikatan pada obyek yang relatif sempit seperti
keterikatan pada profesi.
Orientasi parokial menyatakan ketiadaannya harapan-harapan
terhadap perubahan yang dibandingkan dengan sistem politik lainnya. Dengan kata
lain bahwa masyarkat dengan budaya politik parokhial tidak mengharapkan apa pun
dari sistem poltik termasuk bagian-bagian tehadap perubahan sekalipun. Dengan
demikina parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat
afektif dan orientatif dari pada kognitifnya.
Dalam masyarakat tradisional di indonesia unsur-unsur budaya
parokial masih terdapat, terutama dalam masyarakat pedalaman. Paranata, tata
nilai serta unsur-unsur adat lebih banyak di pegang teguh daripada persoalan
pembagian peran poltik. Pemimpin adat atau kepala suku dapat dikatakan sebagai
pimpinan politik sekaligus dapat berfungsi sebagai pimpinan agama, pemimpin
sosial masyarakat bagi kepentingan-kepentingan ekonomi. Dengan demikian
nyata-nyata menonjol dalam budaya politik parokial ialah kesadaran anggota
masyarakat akan adanya pusat kewenangan / kekuasaan politik dalam masyarakat.
2.
Budaya politik kaula/subjek (subject
political culture)
Budaya Kaula artinya masyarakat sudah memiliki kesadaran
terhadap sistem politik namun tidak berdaya dan tidak mampu berpartisipasi
sehingga hanya melihat outputnya saja tanpa bisa memberikan input. Pada budaya
politik ini, masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun
ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik kaula adalah mereka
yang berorientasi terhadap sistem politik dan pengaruhnya terhadap outputs yang
mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum. Namun mereka
tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur input.
Tipe ini memliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem
politiknya, yang perhatian dan frekuensi orientasi terhadap aspek masukan
(input) dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah.
Hal ini berarti bahwa masyarkat dengan tipe budaya subjek
menyadari telah adanya otoritas pemerintah.
Orientasi pemerintah yang nyata terlihat dari kebanggaan
ungkapan saling , baik mendukung atau permusuhan terhadap sistem. Namun
demikian, posisinya sebagai subjek (kaula) mereka pandang sebagai posisi pasif.
Diyakini bahwa posisinya tidak akan menentukan apa-apa terhadap perubahan
politik. Mereka beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya
untuk mempengaruhi ataupun mengubah sistem. Dengan demikian scara umum mereka
menerima segala keputusan yang diambil dari segala kebijaksanaan pejabat
bersifat mutlak, tidak dapat diubah-ubah. Dikoreksi, apalagi ditentang. Bagi
mereka yang prinsip adalah mematuhi perintahnya, menerima, loyal, dan setia
terhadap anjuran, perintah, serta kebijaksanaan pimpinannya.
Orientasi budaya politik kaula/subjek yang murni sering terwujud
dalam masyarakat yang tidak dapat struktur masukan yang deferensiasi. Demikian
pula orientasi dalam sistem politik lebih bersifat normatif dan afektif
daripada kognitif. Oleh karena itu, dapat dipahami bila mereka memiliki sikap
yang demikian.
Masyarakat yang memiliki budaya politik seperti itu, bila
tidak menyukai terhadap sistem politik yang berlaku hanyalah diam dan
menyimpannya saja di dalam hati. Sikap itu tidak direalisasi kedalam bentuk
perilaku konkret karena diyakini tidak ada sarana untuk memanifstasikannya.
Lebih-lebih dalam masyarakat yang berbudaya subjek terdapat pandangan bahwa
masyarakat terbentuk dari struktur hierarkis (vertikal). Sebagai akibatnya
individu atau kelompok digariskan untuk sesuai dengan garis hidupnya sehingga
harus puas dan pasrah pada keadaannya.Biasanya siap-sikap seperti itu timbul
karena diakibatkan oleh faktor-faktor tertentu seperti proses kolonisasi dan
kidiktatoran.
3.
Budaya politik partisipan
(participant political culture)
Adalah masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang
berorientasi terhadap struktur inputs dan proses dan terlibat didalamnya atau
melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan
membuat keputusan. Pada budaya poltik ini ditandai dengan kesadaran politik
yang tinggi.
Budaya partisipan adalah budaya dimana masyarakat sangat
aktif dalam kehidupan politik. Masyarakat dengan budaya politik partisipasi,
memiliki orientasi yang secara eksplisit ditujukan kepada sistem secara
keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses politik dan administratif.
Tegasnya terhadap input maupun output dari sistem politik itu. Dalam budaya
politik itu seseorang atau orang lain dianggap sebagai anggota aktif dalam
kehidupan politik, masyarakat juga merealisasi dan mempergunakan hak-hak
politiknya. Dengan demikian, masyarakat dalam budaya politik partsipan tidaklah
menerima begitu saja keputusan politik. Hal itu karena masyarakat telah sadar
bahwa betapa kecilnya mereka dalam sistem politik, meskipun tetap memiliki arti
bagi berlangsungnya sistem itu. Dengan keadaan ini masyarakat memiliki
kesadaran sebagai totalitas, masukan, keluaran dalam konstelasi sistem politik
yang ada. Anggota-anggota masyarakat partisipatif diarahkan pada peranan
pribadi sebagai aktivitas masyarakat, meskipun sebenarnya dimungkinkan mereka
menolak atau menerima.
4.
Budaya politik campuran (mixed
political cultures)
Pada umumnya kebudayaan dalam politik parokial, subjek, dan
partisipasi hampir sama dan sebangun dengan struktur politik tradisional,
struktur otoritarian, dan sentralistis. Disamping itu mengingat bahwa dalam
perubahan sistem politik antara kultur dan struktur seringkali tidak selaras,
dalam pembahasan sistem politik yang cepat dewasa ini terjadi perubahan format
politik karena gagal mencapai harmoni.
Budaya politik campuran, maksudnya disetiap bangsa budaya
politik itu tidak terpaku kepada satu budaya, sekalipun sekarang banyak negara
sudah maju, namun ternyata tidak semuanya berbudaya partisipan, masih ada yang
kaula dan parokial. Inilah yang kemudian disebut sebagai budaya politik
campuran.
Seperti telah dikemukakan bahwa tiga kebudayaan politik
murni (parochial, kaula/subjek, dan partisipan) tersebut merupakan awal bagi
tipe-tipe kebudayaan politik atau disebut budaya politik campuran (mixed
political cultures). Adapun tiga bentuk kebudayaan itu adalah sebagai berikut :
a.
Kebudayaan subjek parokial (The
Parochial-subject Culture)
Pada masyarakat dengan bentuk budaya subjek parokial
terdapat sebagian besar yang menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat
kerukunan desa atau otoritas feodal. Hal itu juga telah mengembangkan kesulitan
dalam sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan
pusat yang bersifat kompleks. Banyak bangsa yang melaui proses-proses peralihan
parokial awal dari parokialisme lokal menuju pemerintahan sentralisasi.
Dapat dikatakan bahwa sebuah sebuah kebudayaan politik yang
memiliki "kewibawaan" bersifat campuran. Dalam kondisi itu orientasi
pribadi yang tergabung di dalamnya bersifat campuran pula. Dengan demikian,
kebudayaan politik parokial yang menuju hubungan politik subjek dapatlah
dimantapkan pada sebuah titik tertentu dengan menghasilkan perpaduan politik,
psikologi, dan kultural yang berbeda-beda. Namun demikian jenis perbedaan
tersebut merupakan manfaat yang besar terhadap stabilitas dan penampilan sistem
politik itu.
Apabila kebudayaan warga negara merupakan sebuah kebudayaan
politik campuran seperti itu, di dalamnya terdapat banyak individu-individu
yang aktif dalam politik, tetapi banyak pula yang mengambil peranan subjek yang
lebih aktif. Peranan peserta, dengan demikian telah ditentukan ke dalam peranan
subjek parochial. Hal itu berarti bahwa warga Negara yang aktif melestarikan
ikatan-ikatan tradisional dan nonpolitik, dan peranan politiknya yang lebih
penting sebagai seorang subjek.
Oleh karena itu, orientasi subjek dan parokial, telah
melunakkan orientasi keterlibatan dan aktivitas individu dalam politik.
b.
Kebudayaan subjek partisipan (Subjek
Participant Culture)
Peralihan dari budaya parochial ke budaya subjek
bagaimanapun juga akan mempengaruhi proses peralihan dari budaya subjek ke
budaya partisipan. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas
peralihan dari objek ke partisipan akan cenderung mendukung pembangunan dan
memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis.dalam budaya subjek
partisipan yang bersifat seperti ini sebagian warga negara telah memiliki
orientasi-orientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi
pribadi sebagai seorang aktivis. Sementara itu sebagian warga negara yang lain
terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan
otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif.
Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang
cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga Negara, sebagian lain justru
sebaliknya bersifat pasif.
Masyarakat dengan pola budaya itu, secara orientasi
partisipan itu dapat mengubah karakter bagian dari budaya subjek. Hal itu
karena dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi
dan otoritarian. Degan demikian, mereka harus mampu mengembangkan sebuah bentuk
infra struktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal
tidak dapat menstransformasikan subkultur subjek kearah demokratis, mereka
dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan.
c.
Kebudayaan parochial partisipan (The
parochial Culture)
Budaya politik ini banyak didapati di negara-negara
berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negara-negara tersebut sedang giat
melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang biasanya diperkenalkan
bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan dan keseimbangan sehingga
tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.
Persoalannya ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang
sedang berkembang tersebut dapat dikembangkan orientasi terhadap masukan dan
keluaran secara simultan. Pada kondisi ini sistem politik biasanya diliputi
oleh transformasi parokial, satu pihak cenderung kearah otoritarianisme,
sedangkan pihak lain kearah demokrasi. Struktur untuk bersandar tidak dapat
terdiri atas kepentingan masyarakat, bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada
warga negara yang kompeten dan bertanggung jawab.
C.Jelaskan dengan
alasan, bagaimana dalam kenyataan di dalam masyarakat terdapat munculnya budaya
politik campuran parokial – partisipan
Budaya
politik ini dapat muncul di masyarakat karena kurangnya sosialisasi politik
kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena ada sebagian masyarakat yang
pengetahuannya relatif rendah terutama pengetahuan tentang politik, tetapi ada
sebagian masyarakat yang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi sebagai
warga negara yang aktif dalam memberika perhatian terhadap sistem politik yang
ada di negaranya. Hal ini menyebabkan didalam negara tersebut
terjadi perpaduan antara budaya politik parokial dan partisipan. Sehingga dalam
kenyataan tidak satupun negara yang memiliki budaya politik murni parokial,
partisipan, dan subjek.
KESIMPULAN
1.)
Budaya
politik Indonesia bersifat parokial-kaula di satu pihak dan budaya politik
partisipan dilain pihak; di satu segi masyarakat masih ketinggalan dalam
menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya yang mungkin
disebabkan oleh isolasi dari kebudayaan luar, pengaruh penjajahan, feodalisme,
bapakisme, ikatan primordial, sedang di lain pihak kaum elitnya sungguh-sungguh
merupakan partisipan yang aktif, yang kira-kira disebabkan oleh pengaruh
pendidikan modern, kadang-kadang bersifat sekuler dalam arti relatif dapat
membedakan faktor-faktor penyebab disintegrasi seperti agama, kesukuan dan
lainnya, dengan kata lain kebudayaan politik Indonesia merupakan “mixed
political culture” yang diwarnai dengan besarnya pengaruh kebudayaan politik
parokial-kaula.
Dengan sosialisasi politik yang
tepat dapat meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Sehingga dengan
meningkatnya pengetahuan politik masyarakat, akan meningkatkan pula partisipasi
politik masyarakat. Hal ini dapat merubah budaya politik masyarakat yang selama
ini lebih menundukkan diri pada penguasa. Serta masyarakat dapat lebih maksimal
dalam menggunakan hak dan dalam memikul tanggungjawab politiknya.
2.)
Karena Budaya politik ini banyak
didapati di negara-negara berkembang. Pada tatanan ini terlihat Negara-negara
tersebut sedang giat melakukan pembangunan kebudayaan. Norma-norma yang
biasanya diperkenalkan bersifat partisipatif, yang berusaha meraih keselarasan
dan keseimbangan sehingga tentu mereka lebih banyak menuntut kultur partisipan.
Persoalannya
ialah bagaimana dalam kondisi masyarakat yang sedang berkembang tersebut dapat
dikembangkan orientasi terhadap masukan dan keluaran secara simultan. Pada
kondisi ini sistem politik biasanya diliputi oleh transformasi parokial, satu
pihak cenderung kearah otoritarianisme, sedangkan pihak lain kearah demokrasi.
Struktur untuk bersandar tidak dapat terdiri atas kepentingan masyarakat,
bahkan infrastrukturnya tidak berakar pada warga negara yang kompeten dan
bertanggung jawab.
0 komentar:
Post a Comment